
Doodling: Space Oddity

Sudah lama saya dengar di radio mobil kalau pesta Karnaval Kemerdekaan tahun 2017 ini akan dilaksanakan di kota saya, Bandung. Rumornya waktu itu Presiden akan hadir di sana dan para peserta fashion festival pun turut memeriahkan suasana. Sebagai trade-off kemeriahan ini, beberapa jalan di Bandung akan ditutup. Oleh karena itu, saya pun berencana meninggalkan kendaraan saya di rumah dan pergi naik ojeg online “gojeg”.
Hari perhelatan karnaval pun tiba, saya melakukan top-up “gopay” agar dapat diskon 5 ribu rupiah dari upah jasa ojeg. Awalnya tidak macet hingga persis di depan sektretarian P2TP2A Bandung di jalan Wastukencana beberapa polisi menghentikan lalulintas untuk memberi jalan Bapak Presiden. Karena saya tidak mau menunggu, saya pun memutuskan untuk jalan kaki ke Taman Vanda. Saya dapat informasi kalau puncak iring-iringan karnaval di Taman Vanda. Saya tidak menyangka, ternyata sepanjang jalan sudah sangat ramai dan berdesakan.
Tujuan saya datang ke lokasi itu tak lain tak bukan adalah ‘motret’. Gear D7200 dan lensa kit 18-140mm sebenarnya sangat cocok namun terlalu berat untuk dibawa saat itu. Apa boleh buat, saya hanya bawa lensa itu dan zoom-nya cukup nyaman untuk dipakai shoot jarak sedang. Saya beruntung gear saya itu memang diperuntukkan untuk event jalanan seperti ini. Sambil menunggu Bapak Presiden yang tak kunjung lewat padahal sudah 2 jam beridiri di lokasi, saya mencari-cari objek yang menarik buat difoto.
Objek pertama, anak-anak yang digendong Bapaknya yang penasaran ingin lihat Pak Jokowi.
Berikutnya, saya menemukan wajah-wajah penuh penantian berikut.
Bahkan para petugas keamanan pun bingung, kenapa Pak Presiden gak datang juga.
Bahkan saya bisa melihat wajah lelah para pengisi acara.
Tapi disela-sela kelelahan, saya pun gak sengaja memotret ini.. (sepertinya ini sengaja).
Tolong abaikan caption gambarnya.. itu hanya bercanda. Tapi menunggu Pak Presiden lewat itu memang melelahkan. Saya berdiri dari pukul 14.00 WIB dan iring-iringan baru tiba Ba’da Ashar sekitar pukul 15.45 WIB. Karnaval diawali dengan mobil Pak Presiden. Pak Presiden dan Ibu Negara naik di atas mobil hias bersama dengan Pak Gubernur Jabar.
Persis dibelakang Mobil Pak Presiden ada mobil para artis.
Di belakang rombongan Artis barulah rombongan karnaval dari seluruh provinsi di Indonesia.
Berikutnya selamat menikmati gambar-gambar jepretan gear D7200 dengan lensa kit 18-140 mm.
Kabarnya acara berlangsung sampai malam, namun sebelum Maghrib kaki saya sudah tidak bisa dikompromi. Saya pun memutuskan untuk pulang sebelum acara selesai. Karena pulang lebih awal saya bisa dengan mudahnya menemukan angkot dalam keadaan kosong. Tidak terbayang kalau pulang pas acara selesai, bisa pulang jalan kaki saya. Haha..
Tampaknya blog ini akan kehabisan ruang yang diijinkan dalam versi gratis. Sekarang sudah total 783 pos + 1 postingan ini serta 1.400 komentar yang komen-komennya gak semuanya bermakna (tanpa mengurangi rasa terima kasih saya kepada yang memberikan komen positif/negatif asalkan bukan iklan/spam). Chapter-chapter terakhir postingan blog ini sudah semakin dekat. Momen 5% ini akan saya sebut sebagai Chapter Grand Finale.
Berangkat pukul 14.45 dari Cihanjuang, niatnya ingin ke Masjid Al-Irsyad Kotabaru Parahyangan. Shalat Ashar di sana sekaligus ingin motret golden hour sunset. Hari minggu ini kebetulan jam tersebut jalan tol masih sepi, kami sampai tepat adzan Ashar berkumandang.
Ba’da Ashar, saya pun mulai hunting foto sunset. Namun berhubung hari masih siang dan matahari masih cukup tinggi, saya harus bersabar beberapa menit agar dapat posisi matahari tepat di belakang bangunan mesjid. Sambil menunggu, kami pun pindah lokasi ke pusat jajanan di depan Rumah Sakit Kawaluyan. Saya dapat sate porsi jumbo seharga 20 ribu di sana sedangkan keponakan saya menikmati baso tahu dengan harga yang sama. Tampaknya keponakan saya lebih menginginkan sate saya ketimbang baso tahunya, sehingga sebagian saya bagi untuk dia.
Meskipun jumbo, waktu untuk makan makanan ini tidak lama. Saat kami selesai makan, matahari masih cukup tinggi. Kami pun bersantai sejenak di lokasi ini. Saya sempat mengambil beberapa foto di lokasi ini.
Bosan di tempat ini kami kembali ke lokasi Masjid Al-Irsyad. Kembali, matahari masih cukup tinggi, saya pun mengambil beberapa foto sambil menunggu saat matahari cukup tergelincir di barat.
Sekitar pukul 16.45 WIB., saat yang saya tunggu pun muncul. Saya ambil beberapa gambar, kemudian kami beranjak pulang. Meskipun menunggu lama namun saya cukup puas dengan hasil jepretan saya.
Beberapa kali diskusi dengan teman yang memang sudah expert dalam bidang fotografi, banyak yang bilang kalau lensa tele (Nikon ya..) terbaik adalah 70-200mm f/2.8. Terbaik dalam arti luas, kemungkinan menurut saya terbaik karena multi-fungsi. Banyak yang bilang lensa ini terbaik untuk sport, foto hewan peliharaan maupun wildlife, fashion, portraits, street, hingga foto low-light maupun direct sun-light. Harganya pun terbaik, dengan kualitas terbaik tersebut lensa ini dibanderol seharga sekitar 34 juta (2017). Hmm.. Ok.. lensa ini untuk fotografer yang serius. Saya belum mencapai tahap fotografer serius, saya ingin lensa tele yang tidak terlalu serius, saya ingin yang rileks.
Browsing di web, ternyata ada lensa tele ekonomis. Saya katakan ekonomis ya, bukan murah. Dengan harga sekitar 1,4 jutaan saja (2017) bisa memiliki lensa 70-30mm f/4-5.6 tanpa reduksi getar (VR Nikon) dan tanpa auto fokus di lensa (AF-D). Setiap lensa pasti ada karakternya, tak terkecuali lensa ini. Mampu menyaingi 70-200mm f/2.8? Baca harganya saja tidak mungkin lah!
Seberapa jauh lensa ini mampu zooming? Bagi yang tahu daerah Bandung, posisi saya di jembatan layang Pasopati masih dapat memonitor aktivitas pekerja bersih-bersih di gedung hotel area Cihampelas Walk.
Dalam kondisi minim cahaya, kemampuan lensa ini tak jauh dari kualitas kamera handphone. Absennya VR (vibration reduction) berarti shutter speed saat memotret setidaknya 1/1000 detik dalam posisi full zoom, sebagai pay-off nya ISO dan diafragma pun mengalah. Sialnya diafragma maksimum pada full zoom adalah f/5.6, hal ini mengakibatkan ISO harus mengalah total. Jelek? Nanti dulu.. Seperti kata saya sebelumnya, setiap lensa pasti ada karakternya.
Silahkan Anda duduk rileks di luar ruangan saat cahaya matahari cukup, ambil tripod yang kokoh dan pasangkan kamera dengan lensa ini. Tripod hanya digunakan untuk menopang kamera saja, head tidak perlu dikunci agar tangan kita bebas memutar arah kamera. Cari objek-objek menarik baik dalam kondisi diam maupun bergerak dengan jarak yang memadai. Atur auto fokus ke mode tracking. Kapanpun Anda siap, ambil gambar itu. Berikut beberapa hasil gambar D7200 + 70-300mm Non VR oleh amatiran seperti saya..
Saat langit cerah, hasil gambarnya impresif. Harga ekonomis namun tidak murahan. Selanjutnya, saya coba masuk ke dalam ruangan mencari objek model orang yang bisa saya foto sambil duduk rileks. Hasilnya..
Saat saya sedang asing nyeruput kopi, tampak dari kejauhan seekor kucing melintas di tengah jalan. Sambil rileks saya arahkan fokus ke matanya yang biru dan hasilnya …
Terakhir, lensa 70-300mm non VR ini jelas adalah lensa teman rileks Anda. Mungkin karakter lensa ini adalah potrait karena saya belum coba untuk yang lain. Blur background nya (bokeh) sedang, ketajamannya tergantung kecekatan fotografer. Low-light sudah jelas kewalahan, high speed object bisa saja asal fotografer sanggup stabil mengimbangi kecepatan objek. Tripod tidak wajib tapi lebih baik ada. Harga? Ini adalah lensa DSLR brand Nikon termurah yang ada di website-website toko kamera. Haha..
Ini kali pertama saya ke tanah Papua, Kota Jayapura. Akhirnya kita bertemu, tanah di ujung timur negeriku. Saya turut membawa kamera DSLR saya ke sini, berharap ada momen bagus yang bisa saya capture. Nanti saja cerita perjalanan saya ke sini, kali ini momen bagus yang dimaksud tanpa disangka muncul dalam bentuk Festival Teluk Humbold. Pucuk dicinta, ulam tiba..
Acara ini pada awalnya direncanakan dimulai pukul 9.00 WIT. Saya dengar akan ada sambutan besar di acara pembukaan festival yang dihadiri Wakil Gubernur Papua, Walikota dan Wakil Walikota Jayapura karena sehari sebelumnya kota Jayapura baru saja menerima anugerah Adipura. Apa daya, manusia berencana Allah menentukan. Pagi itu Jayapura diguyur hujan deras yang mengakibatkan banjir dan longsor. Bapak Walikota yang direncanakan mendarat di Sentani di pagi hari terpaksa ditunda pendaratannya karena bandara Sentani tidak bisa didarati pesawat. Acara pun mundur hingga pukul 11.30 WIT. Hujan hanya meninggalkan gerimis kecil, Tan dan Monj Pariwisata Port Numbay Jayapura pun mulai bersiap, berdiri dengan gagah dan anggun menyambut Wakil Gubernur Papua jajaran Muspida kota Jayapura.
Setelah tanya sana-sini, ternyata festival tahun 2017 ini adalah yang ke-9 kalinya. Festival ini menampilkan budaya dan karya seni masyarakat Papua. Sayang.. saya hanya bisa menyaksikan hari pertamanya saja, esok harinya saya harus terbang kembali ke Bandung, kota tempat tinggal saya. Oya.. Teluk Humbold ini nama lainnya adalah Teluk Yos Sudarso.
Lahirnya Mahya Jihan putri kami pada pukul 9.50 wib tanggal 7/7/17 adalah titik Kilometer Nol kami menjadi orang tua. Apa yang saya ketahui tentang menjadi Bapak adalah nol besar, tapi demi keluarga kami siap belajar menjadi orang tua yang baik. Selamat datang Nak, doa kami semoga Allah menjadikan engkau anak yang solehah. Pesan kami pada mu sama seperti pesan kakek nenek kepada papa yang dikutip dari pesan Luqman kepada anaknya yang jika engkau bisa membaca Al-Qur’an nanti lihatlah surat Luqman ayat 12 sampai 19. Pahami dan amalkan ya anakku yang cantik.
Banyak yang bilang di youtube atau blog kalau lensa fixed yang wajib dimiliki adalah lensa 50 mm karena fokusnya cepat dan harga cukup terjangkau. Niatnya saya ingin beli versi AF-S namun berhubung budget minim dan body kamera saya sudah dilengkapi motor saya putuskan untuk beli yang AF-D (manual) saja. Katanya kualitasnya gak beda.
Jujur saja, saya tidak begitu mengenal lensa-lensaan baik deri segi fungsi maupun kualitas. Hal yang saya tahu dari lensa 50 mm ini hanya berdasarkan browsing di internet. Nah.. kali ini saya ingin coba sendiri lensa baru saya yang saya beli beberapa hari yang lalu dan harganya setengah dari harga lensa AF-S 50 mm.
Objek pertama saya jatuh pada botol aqua di belakang saya. Hasilnya impresif mengingat saya memotret di dalam ruangan pada malam hari dan sumber cahaya berasal dari 2 buah lampu led di langit-langit rumah.
Menguji lensa dengan 1 gambar saja memang tidak cukup, saya lanjut foto objek-objek lain yang ada di rumah. Hasilnya cukup bagus, meskipun beberapa gambar memang kehilangan fokus karena memang teknik fotografi saya yang masih amatiran. hehe.. Berikut foto yang kira-kira fokus saja yang ditampilkan.
Foto-foto yang dihasilkan oleh lensa manual 50 mm ini terlihat cukup mengesankan. Fokusnya bagus terutama di bagian tengah, cukup tajam dan mengesankan. Tapi saat saya memotret random tanpa ada objek khusus yang menjadi fokus utama gambar, kualitas hasilnya jauh menurun dan warnanya agak pucat. Ini beda jauh saat lensa ini memfoto potrait. Mungkin ini yang dimaksud kalau lensa 50 mm f/1.8 itu adalah lensa potrait.
Berikutnya saya coba luar ruangan dan pada waktu siang hari. Saya duduk di belakang mobil yang sedang jalan, jendela mobil saya buka habis sehingga saya bisa memotret tanpa filter kaca film mobil. Oya, saya sengaja set shutter speed antara 200 – 500 dan diafragma antara f/4 dan f/8, sedangkan iso saya biarkan body D7200 yang memilihkan untuk saya. Saya halnya dengan dalam ruangan sebelumnya, foto luar ruangan ini pun banyak gagalnya dan yang saya tampikan adalah yang saya anggap cukup berhasil saja.
Itu lah deret foto dimana terdapat objek tertentu di bagian tengah gambar. Memang tidak semuanya mengesankan, namun menginat saya mengambil gambar dalam kondisi mobil sedang bergerak hasilnya cukup bisa diterima. Deret gambar berikut dimana tidak terdapat objek khusus di tengah gambar.
Kesimpulan saya, saya sepakat kalau lensa ini adalah lensa potrait. Kalau kualitas saya rasa tergantung feeling dan selera masing-masing saja. Untuk foto dimana tidak ada objek tertentu yang menjadi fokusnya, pendapat saya lensa ini kewalahan cenderung kebingungan. Namun saya cukup puas dengan hasil jepretan saya tersebut dan saya akan bawa lensa ini selama traveling untuk memotret foto-foto narsis. Hehe..
Beberapa bulan terakhir saya tidak sempat kemana-mana karena musim hujan serta adanya kesibukan menyelesikan S3 saya yang sudah 5,5 tahun ini saya jalani. Ditambah InsyaAllah kami pun sedang bersiap menanti kelahiran anak pertama. Kamera DSLR saya pun sudah menganggur cukup lama. Diawali dari browsing sana-sini akhirnya saya menemukan cara lain agar si D7200 tidak nganggur yaitu dengan cara diecast photography. Sebenarnya saya baru tahu kalau mobil-mobilan itu namanya diecast.
Pertama mencoba, saya ke toko mainan untuk mencari yang namanya mobil-mobilan sebesar korek api. Pelayan toko mengarahkan saya ke mobil-mobilan Tomica seharga 60 ribu. Saya beli VW Polo dengan sedikit potongan harga dan sesampainya di rumah langsung jepret. Hasilnya..
Oya.. untuk menjepret diecast ini saya pakai tripod ballhead dan shutter release agar hasilnya bagus. Lensa yang saya gunakan adalah jenis micro 40mm f/2.4 (AF-S Nikon punya) karena mainan ini tidak bergerak dan pula tidak terlalu zoom. Oya karena saya tidak punya speedlight eksternal, jadi saya selalu pakai iso 100 dan speed lambat agar hasilnya detil.
Tidak lama VW ini bertahan menjadi satu-satunya mainan mobil yang saya punya. Esok sorenya saya mampir ke minimarket depan rumah dan tidak sengaja melihat hotwheels diskon, harganya 1/6 Tomica. Dengan sedikit canggung saya pun membeli beberapa unit hotwheels secara terburu-buru. Malu juga sudah mau punya anak masih main mobil-mobilan. Bahkan pada suatu hari saya sedang pilih-pilih hotwheels, seorang anak merengek ke ibunya minta dibelikan hotwheels yang sama dengan apa yang sedang saya pegang. Jawaban ibunya, “gak usah! itu tak berguna!”. Saya sih lempeng aja.. hihi.. Emang kalau dimainin gitu aja sih memang tidak berguna. haha..
Hingga sekarang, sudah banyak diecast baik hotwheels maupun Tomica yang saya beli baik dalam keadaan diskon maupun tidak. Saya pun kadang-kadang mengajak istri memilih mobil-mobilan sambil tebak-tebakan mana yang saya suka mana yang tidak. Saya pun memberi tahu istri saya bahwa saya tidak peduli mobil-mobilan tersebut adalah item yang paling dicari se-jagat raya, yang saya cari adalah mobil-mobilan yang proporsional dan enak dilihat dan difoto. Saya agak heran banyak orang dewasa tertarik mengkoleksi mainan yang sering saya tabrak-tabrakin waktu kecil. Sementara saya, setelah puas fotoin mauinan kemudian saya hibahkan kepada keponakan atau sepupu yang memang suka mainan mobil. Tapi saya pun menyisakan sebagian siapa tahu saya kangen ini foto mobil itu lagi.
Saya hanya membeli merk hotwheels dan Tomica saja, merk lain saya tidak beli. Namun saya lebih suka merk Tomica karena lebih proporsional dan mendekati model asli. Berhubung harga Tomica mahal jadi saya belinya insidental saja.
Semakin dalam saya browsing tentang diecast, semakin rumit teknik fotografinya. Bahkan menurut rumor, iklan-iklan mobil banyak yang dibuat dari model diecast. Diecast yang detil tersebut harganya bisa jutaan. Bahkan ada yang sengaja membuat diorama agar aktivitas diecast terlihat asli. Tapi sepertinya saya belum sampai ke arah sana, saya masih senang mengulik pose pada angle-angle tertentu yang saya anggap keren saja.
Selain mencari sudut foto, kadang-kadang saya suka menyusun beberapa diecast bersamaan seolah-olah sedang melakukan aktivitas bersama-sama. Salah satunya, foto berikut saya beri judul “Mudik 2017” karena saya ambil saat puncak mudik lebaran kemarin.
Akhir-akhir ini pamor kopi seperti melambung tinggi, para ‘pencinta kopi’ mulai bermunculan. Banyaknya pencinta kopi ini sepertinya sangat dimanfaatkan oleh pengusaha kuliner dengan membangun warung-warung kopi baru dengan mengangkat tema ‘the real coffee’ alias kopi dari biji langsung. Daerah rumah saya pun menjadi salah satu tempat strategis untuk membangun coffee shop. Sebut saja, 5758 yang terkenal dengan coffee labnya, warung kopi modjok yang emang modjok, ngopi doele di pinggir jalan Setiabudhi Bandung, kopi Bulukumba di Gerlong Hilir, Morning Glory di jalan arah ke Lembang, dan kali ini yang saya kunjungi namanya kopi Kodok di daerah Sersan Bajuri Bandung. Awalnya saya tidak mengira di lokasi tersebut ada warung kopi dan saya mengetahuinya saat ada rekan yang mengusulkan untuk kumpul di sana.
Hampir semua coffee shop pelayanannya bagus termasuk coffee shop ini. Kami saat itu sengaja mampir ke sini dengan harapan dapat jadi tempat rapat dan kumpul bareng. OK.. lalu apa kopi yang ditawarkan? Saat saya tanya ke pegawainya, mereka menggunakan kopi Manglayang. Saya pernah beli satu bungkus varian kopi ini ke salah satu rekan dan ludes hanya dalam 1 hari saja karena banyak yang suka. Biasanya di setiap coffee shop yang saya kunjungi saya akan pesan cappucinno (bukan espresso atau black coffee), tapi sayangnya malah pesan creme brulee. Sedikit menyesal tidak pesan cappucinno, creme brulee di sini di bawah ekspektasi saya (bukan salah coffee shopnya, mungkin karena saya lagi apes saja kali). Sebagai makanannya, tempat seperti ini paling cocok makan indomie rebus telor atau yang sedikit terdengar mewah bisa pesan mie tek-tek. Haha…
Tidak ada salahnya sambil ngobrol sambil makan, makannya sederhana tapi ngobrolnya yang bikin seru. Saat itu lokasinya sedang sepi dan kami seperti bebas menggunakan meja manapun tanpa dimarahi. Memang lokasinya cocok untuk berlama-lama terutama saat cuaca cerah ya.