Kumpul Bareng di Kopi Kodok

Akhir-akhir ini pamor kopi seperti melambung tinggi, para ‘pencinta kopi’ mulai bermunculan. Banyaknya pencinta kopi ini sepertinya sangat dimanfaatkan oleh pengusaha kuliner dengan membangun warung-warung kopi baru dengan mengangkat tema ‘the real coffee’ alias kopi dari biji langsung. Daerah rumah saya pun menjadi salah satu tempat strategis untuk membangun coffee shop. Sebut saja, 5758 yang terkenal dengan coffee labnya, warung kopi modjok yang emang modjok, ngopi doele di pinggir jalan Setiabudhi Bandung, kopi Bulukumba di Gerlong Hilir, Morning Glory di jalan arah ke Lembang, dan kali ini yang saya kunjungi namanya kopi Kodok di daerah Sersan Bajuri Bandung. Awalnya saya tidak mengira di lokasi tersebut ada warung kopi dan saya mengetahuinya saat ada rekan yang mengusulkan untuk kumpul di sana.

Lokasi kopi Kodok ini di pinggir jalan sebelah kiri (jika ingin ke arah kampung gajah dari terminal Ledeng), agak tersembunyi dari jalan.
Lokasinya persis di sebelah sungai dan di tengah pepohonan.
Tempatnya sederhana dan cukup luas, bisa disebut lokasinya Instagrammable.
Deretan pohon ini yang membuat coffee shop ini tak terlihat dari jalan raya.
Coffee shop ini juga dihiasi dengan tanaman-tanaman hias yang bisa dipakai berfoto. Tapi saat saya kunjungi tanamannya pada berdebu, mungkin karena beberapa hari tidak hujan.

Hampir semua coffee shop pelayanannya bagus termasuk coffee shop ini. Kami saat itu sengaja mampir ke sini dengan harapan dapat jadi tempat rapat dan kumpul bareng. OK.. lalu apa kopi yang ditawarkan? Saat saya tanya ke pegawainya, mereka menggunakan kopi Manglayang. Saya pernah beli satu bungkus varian kopi ini ke salah satu rekan dan ludes hanya dalam 1 hari saja karena banyak yang suka. Biasanya di setiap coffee shop yang saya kunjungi saya akan pesan cappucinno (bukan espresso atau black coffee), tapi sayangnya malah pesan creme brulee. Sedikit menyesal tidak pesan cappucinno, creme brulee di sini di bawah ekspektasi saya (bukan salah coffee shopnya, mungkin karena saya lagi apes saja kali). Sebagai makanannya, tempat seperti ini paling cocok makan indomie rebus telor atau yang sedikit terdengar mewah bisa pesan mie tek-tek. Haha…

Creme brulee ini tampilannya bagus sekali. Tapi saya masih ingin cappucinnonya.
Saya pesan indomie rebus telor, sedangkan ini mie tek-teknya.

Tidak ada salahnya sambil ngobrol sambil makan, makannya sederhana tapi ngobrolnya yang bikin seru. Saat itu lokasinya sedang sepi dan kami seperti bebas menggunakan meja manapun tanpa dimarahi. Memang lokasinya cocok untuk berlama-lama terutama saat cuaca cerah ya.

Kami bebas ngobrol pakai meja manapun saat sepi. Ada meja yang cukup panjang terbuat dari kayu yang kami pilih.
Sambil santai, sambil membuat program kerja selama setahun ke depan.
Bapak ini berhasil menangkap seekor ular pucuk di salah satu pohon dekat lokasi warung kopi. Ini pertanda bahwa lokasi tempat warung kopi ini berdiri masing alami.
Sekedar info, ular pucuk itu tergolong ular berbisa menengah. Kalau orang dulu pernah bilang ular ini bisa terbang. Tapi beberapa referensi juga mengatakan jika ular ini sering dijadikan peliharaan karena bisanya tidak mematikan.
Ini semua kru rapat kali itu, kami memanfaatkan waktu dari pukul 12 siang hingga 16 sore. Mulai dari bicara program kerja hingga sharing pengalaman. Tempat sederhana ini mudah-mudahan bisa menjadi awal inspirasi baru kami. Amiin.

Cafelatte Eititu

 

Studio_20160225_011340

Cafelatte Eititu Resto ITB

Eititu itu kafe di depan labtek 8 (kantor saya) yang katanya “eititu” itu berarti 82, angkatan para investornya dulu waktu kuliah di ITB. Dari dulu ingin coba kopi eititu ini, tapi baru tadi siang berhasil memesannya. Biasanya saya pesan hot tea karena sudah merencanakan mau bikin kopi sendiri menggunakan coffee maker otomatis yang ada di kantor saya. Rasa cafelatte ini ringan, dan saya tidak tahu kopi apa yang dipakai. Meskipun saya minta strong tapi tetap very light, mungkin disesuaikan untuk keperluan nongkrong.

Warung Kopi Bulukumba Dekat Rumah

Warung kopi ini namanya Waddaddah, lokasinya di pertigaan Sukahaji di jalan Gerlong Hilir. Kurang lebih 5 menit naik sepeda dari rumah saya. Saya sudah cukup lama tahu warung kopi ini, hanya baru kali ini saya mengunjunginya. Tempatnya cukup bagus untuk kumpul bareng teman-teman.
20160213_191540

Kumpul panitia IKA Ilkom.

Kabarnya minuman populer dan otentik yang ditawarkan adalah kopi susu Bulukumba. Kopi yang digunakan jenis robusta dari Bulukumba. Harganya miring sekali, mengingat kopi Bulukumba belum begitu populer. Kali itu saya pesan kopi Bulukumba tanpa susu dan tanpa gula. Rasanya enak dan after taste-nya masih terasa hingga 2 jam setelah saya meminumnya, begitulah kopi robusta.

20160213_192011_Richtone(HDR)

Kopi robusta Bulukumba tanpa gula.

Sekedar tanggapan saya tentang warung kopi ini, lokasinya terlihat sedikit kumuh. Desain retronya dapat, tapi alangkah indahnya jika didekor dengan lebih terkonsep lagi. Musholanya juga harus lebih dipoles dan ditambahkan sarung atau mukena sehingga bgi engunjung yang tidak bawa alat shalat bisa shalat di sana. Penerangannya sedikit terlalu redup, mungkin pengaruh cat dindingnya yang terlihat seperti sudah lama tidak dicat ulang.

Penggaris Bilangan Prima

Studio_20150712_035104

Penggaris bilangan prima.

Benda ini saya peroleh sebagai memento dari kunjungan Kyoto University ke kantor saya di STEI ITB akhir tahun 2014 yang lalu. Sesaat setelah saya mengakhiri acara (saat itu saya menjadi moderator), seorang perwakilan dari Kyoto University menyerahkan bingkisan kenang-kenangan kepada kami, saya diberi 2 saat itu. Isinya ada beberapa unit buku, pembatas buku warna emas berukirkan gedung kampus utama Kyoto University, dan satu unit penggaris ini.

Dari awal saya menerima benda ini saya tidak tahu apa gunanya, bahkan tidak perhatikan angkanya. Hingga kemarin malam saya memperhatikan dengan seksama, ternyata itu adalah penggaris 18 cm dan angka yang tertera di sana hanya bilangan prima < 18 cm. Tidak ada angka 1 karena secara teori angka 1 bukan bilangan prima.

Saat itu pula saya coba membuat garis dari 1 cm, 2 cm, 3 cm, …, 18 cm. Ternyata memang bisa, bahkan tanpa kesulitan berarti. Memang butuh berfikir sedikit, namun sepertinya tidak terlalu sulit. Saya coba berselancar di internet, berharap dapat memahami apa yang sedang dipikirkan pencipta produk ini. Saya tidak betul-betul paham soal sistem bilangan ini, apalagi kaitannya dengan komputasi di sistem komputer. Namun ada filosofi yang menarik, intinya soal memanfaatkan weakness menjadi strength dengan membiasakan diri pada kondisi yang tidak nyaman. Dengan melatih diri pada kondisi yang tidak nyaman maka kita bisa mengukur kemampuan diri sendiri dan jika kita berusaha sungguh-sungguh secara tidak langsung akan mentransformasi kelemahan tersebut menjadi kekuatan. Hmm.. mungkin ada filosofi lain, pelan-pelan akan saya pelajari lebih lanjut.

My Very First Cold Manual Brew

image

“Cold manual brew pertama saya.”

Jenis kopi yang digunakan adalah kopi Toraja Sappan. Rasio kopi banding air adalah 1:7, suhu normal. Dibuat menggunakan French Press dalam waktu sekitar 24 jam yqng terbagi dalam 2 tahap. Tahap satu kopi diseduh dengan air suhu normal selama 12 jam kemudian di press dengan alat French Press. Setelah di press, kopi didinginkan di kulkas selama 12 jam lagi. Hasilnya bagi saya cukup memuaskan meskipun hanya berbekal artikel dari internet, tapi sebenarnya kembali lagi ke selera juga. Sebagian ada yang suka kopi dingin, tapi ada juga yang berpaham minum kopi itu harus panas.

Coffee Science: Eksperimen Pertama

Awalnya saya memesan kopi Toraja Sapan dan Toraja Awan dari salah seorang saudara kami yang menjalani bisnis warung kopi di daerah Makassar. Hmm.. memang cukup lama kopi ini sampai ke tangan saya, maklum saja mungkin saudara saya tersebut kesulitan untuk meninggalkan pekerjaannya meracik kopi demi kepuasan pelanggan. Tapi akhirnya sampai juga. Hehe..

Lalu.. mau diapakan kopi ini? Jujur saja saya tidak punya pengetahuan soal meracik kopi, yang saya tahu hanya minum kopi sambil makan kacang buat teman nonton bola. Teman merokok? hmm.. bisa jadi, tapi sayang sekali saya tidak pandai merokok. Setelah browsing kemana-mana akhirnya saya putuskan skenario eksperimen pertama saya dalam meracik kopi adalah dengan menggunakan alat tradisional french press.

French press itu alat pembuat kopi tradisional tanpa listrik yang bentuknya seperti gelas yang dilengkapi semacam saringan kopi di bagian tutup gelasnya. Cara kerjanya sederhana, cukup seduh kopi di dalam gelas, tunggu beberapa menit. Setelah aroma kopi keluar, tutup gelas kemudian tekan saringan kopi yang ada di bagian tutup gelas. VOILÀ! Kopi tanpa ampas siap dinikmati.

Demi eksperimen pertama ini, saya pun langsung menuju toko hardware yang tidak jauh dari kampus tempat saya bekerja. Alhamdulillah mereka punya alat yang saya cari. French press 800 ml berhasil saya bawa pulang dengan modal sekitar 150 ribuan. Sebenarnya ini bukanlah coffee maker pertama saya, sebelumnya saya juga sudah pernah membeli coffee maker elektrik dari sebuah toko online. Tapi saya jarang menggunakannya karena sedikit ribet, terutama saat membersihkannya.

Eksperimen saya yang pertama ini menghasilkan kesimpulan bahwa kopi yang saya racik benar-benar pahit. Haha.. Tapi saat dicampur dengan susu kental manis, rasanya not bad. Walaupun masih tidak sesuai dengan selera saya. Ah.. saya tidak begitu paham dengan cita rasa kopi, tapi yang pasti eksperimen pertama ini membuat saya tidak sabar untuk melakukan eksperimen yang kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya.

Kopi

Kopi Toraja Sappan yang saya pesan dari saudara yang merupakan owner warung kopi di Makassar.

french press

French press yang baru saja dibeli di toko hardware langsung saya gunakan untuk ekperimen meracik kopi Toraja Sappan yang baru saja dikirim.